Karya : Ma'shum Abdul Jabbar
AMANAH ORANG TUA BAYUUdara dingin di pagi hari menyelinap masuk melalui jendela kamar tidur Bayu, mebuat anak kos yang tinggal sendirian itu terbangun. “Brrr… dinginnya…” gumam Bayu pelan. Memang keinginan dari Bayu sendiri untuk bersekolah jauh dari orangtua demi hidup mandiri dan mencapai cita-citanya. Teringat ketika sebelum ia mendaftar di Sekolah Menengah Kejuruan yang dipilihnya tersebut, sang Ibu berpesan untuk memilih sekolah sesuai pilihan hati anaknya, sedangkan sang Ayah menyuruh Bayu agar masuk ke SMA Negeri Favorit yang ada di kota agar setelah tamat dapat berkuliyah di Fakultas Hukum. Keinginan Bayu yang tidak sesuai dengan sang Ayah, memilih untuk masuk ke Sekolah Kejuruan dan mengambil jurusan Teknik Elektronika sesuai hobinya yang suka membongkar peralatan elektronik dirumahnya. Dalam hatinya Bayu merasa menyesal tidak bisa menuruti keinginan Ayahnya tersebut, namun ia bertekad akan membahagiakan kedua orangtuanya kelak.
Sebulan sejak ia masuk sekolah tersebut, timbul kejenuhan pada dirinya. Bayu yang semula anak baik-baik kini terjerumus dalam pergaulan bebas. Selain jauh dari orangtua, Bayu yang tinggal di kos sendirian membuat ia bebas keluar malam bersama teman-temannya. Saat disekolah ia sering mengantuk bahkan tertidur ketika jam pelajaran berlangsung, ini akibat bergadang terlalu larut. Pekerjaan rumah dan tugas yang diberikan oleh gurunyan tidak ia kerjakan dan Nilai Ulangan Hariannya pun sering remedial. Selain itu, Bayu juga sering datang terlambat dan juga serig bolos dari sekolah. Hingga akhirnya wali kelas Bayu yaitu Bu Zahara yang juga sekaligus guru Matematika di Sekolah itu, memanggil kedua orangtua Bayu untuk melaporkan keadaan anaknya tersebut.
“Maaf Bu, Pak. Ini nilai-nilai anak Ibu dan Bapak selama setengah semester” ucap Bu Zahara sambil menunjukan kertas hasil ulangan Bayu kepada kedua orangtua tersebut di ruang kesiswaan. “Bukan cuma nilainya yang rendah, anak Ibu dan Bapak sering kali datang terlambat dan sering bolos dari sekolah, dia juga pernah tertidur ketika jam pelajaran”. Tentu hal tersebut membuat kedua orangtua Bayu merasa kecewa dengan hasil belajar anaknya, yang disekolahkan jauh-jauh dengan biaya yang mahal ternyata hanya membuat mereka malu saja. Setelah keluar dari ruang kesiswaan, kedua orangtua Bayu menunggu di kos yang ditempati anaknya tersebut. Sepulang sekolah, kedua orangtua Bayu mencoba bersabar dan memberikan nasehat-nasehat serta amanah kepada anaknya. “Nak, cobalah kamu berubah dari sekarang. Bapak dan Ibu sayang sama kamu. Kenapa kamu gak sayang sama kami…” ucap orangtua Bayu yang membuat anak semata wayang tersebut terdiam pilu mendegarkan nasehat orangtuanya. Berjam-jam anak lelaki tersebut di berikan nasehat hingga senja menjemput, akhirnya kedua orangtua tersebut harus pulang karena tidak bisa terlalu lama meninggalkan rumah dalam keadaan kosong. Setelah mencium tangan orangtuanya, Bayu mengantar keduanya sampai ke Mobil butut yang parkir di depan kos.
Malam sudah menjemput, tinggal Bayu yang sendirian didalam kos nya yang sepi. Bayu yang mengantuk segera menuju ke tempat tidur dan mulai berbaring, sambil memikirkan nasehat yang disampaikan kedua orangtuanya tadi. Mata Bayu semakin berat, ia tidur terlalu cepat. Mungkin kini ia sedang bermimpi indah atau mungkin juga sebaliknya. Tak seperti biasanya ia tidur secepat ini sejak tinggal di kos tersebut.
Udara pagi yang semakin dingin membangunkannya, Bayu yang tidur tidak memakai selimut merasakan kedinginan yang luar biasa, terlebih cuaca diluar kini sedang mendung dan kelihatannya akan turun hujan. Ia mencoba bangkit dari tidurnya, lalu pergi ke kamar mandi dan mencuci mukanya dengan air sejuk kemudian melanjutkan ke dapur untuk membuat segelas susu hangat. Dalam pagi buta tersebut, tiba-tiba turun hujan dan semakin lama semakin deras, cipratan airnya pun masuk lewat jendela kamar Bayu yang sedikit terbuka. Terlihat jarum jam dinding menunjukkan pukul tujuh kurang, tanpa memikirkan rasa dingin Bayu segera bergegas untuk mandi, setelah mandi ia bersiap-siap untuk pergi berangkat sekolah. Di dalam kosnya ia tidak memiliki payung maupun jas hujan, sehingga ia harus menunggu sampai hujan berhenti. Dari situ ia mulai belajar bahwa segalanya harus dipersiapkan terlebih dahulu, bak kata pepatah Sedia Payung sebelum hujan. “Coba kalau aku punya payung, pasti tidak begini kejadiannya…” celutuk Bayu.
Jarak sekolah Bayu memang tidak jauh dari kosnya, sehingga dapat dijangkau dengan berjalan kaki, namun Bayu terkadang menaiki oplet yang sering lewat di depan kosnya tersebut. Setelah mengunci pintu kos, Bayu menunggu di teras untuk menanti oplet yang biasa lewat. Hujan mulai reda, namun rintik-rintiknya masih menemani detik-detik waktu untuk masuk sekolah. Tiada alasan meski hujan turun, aktifitas sekolah tetap harus berjalan, siswa-siswi tetap harus belajar, dan guru-guru harus tetap mengajar. Itulah kebudayaan dari Sekolah Kejuruan yang ada di kota kecil tersebut.
Sesampainya di depan gerbang sekolah, belum banyak siswa dan guru yang datang, seperti biasa jika cuaca tidak bersahabat maka sekolah akan membunyikan bel masuknya sedikit siang dari pada hari biasa. Untuk menunggu hal tersebut, Bayu membuka buku-buku pelajaran yang hari ini akan ia pelajari sampai pulang nanti. Tampak tulisan merah bertuliskan “Kumpulkan besok pagi”. Astaga, ia baru menyadari ada tugas dari gurunya kemarin, untung saja bel masuk masih lama sehingga ia bisa mengerjakan tugas tersebut dengan tenang. Baginya pekerjaan rumah yang diberikan itu ternyata cukup mudah dan ia dapat mengerjakan semua soal sendirian saja, tanpa mencontek tugas milik temannya seperti biasa. Dari sini ia belajar bahwa jika ada kemauan untuk berusaha maka pasti selalu ada jalan keluarnya.
Tak terasa bel sudah berbunyi, siswa-siswi yang lainnya pun juga sudah pada berdatangan. Bayu yang sudah sejak di dalam kelas hanya duduk diam menunggu kedatangan gurunya. Kebetulan saat itu mereka belajar matematika, dan Bu Zahara sendirilah yang menjadi guru mereka. Baru saja masuk, Ibu tersebut meminta kepada murid-muridnya untuk mengumpulkan tugas mereka. Setelah diperiksa, beberapa dari mereka tidak mengumpulkannya. “Dasril, Toni dan Adi. Maju ke depan…” pinta bu Zahara dengan nada tinggi. “Kenapa kalian tidak mengerjakan PR yang ibu berikan…?”, tanya bu Zahara pada anak-anak bandel yang hanya diam tersebut. “Bu, kenapa Bayu tidak dipanggil?” kata anak-anak yang lainnya kepada bu Zahara karena biasanya Bayu lah yang sering tidak mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru-gurunya. Bu Zahara menyuruh ketiga anak tadi berdiri diluar pintu ruangan kelas sampai jam Matematika berakhir. “Bayu, coba kamu kerjakan semua PR ini di papan tulis…” pinta Bu Zahara. Setelah Bayu mengerjakannya, Bu Zahara tersenyum, “Bagus Bayu, yang kamu kerjakan benar semua…” Bu Zahara merasa kagum atas perubahan Bayu. Teman-teman Bayu yang lain tercengang, tidak biasanya Bayu seperti itu. Kini setiap ada tugas dari guru selalu dikerjakan oleh Bayu dan ulangan yang diikuti selalu mendapat nilai baik bahkan terbaik dari teman yang lainnya, terutama dalam mata pelajaran Matematika.
Prestasi Bayu sampai akhir semester pertama meningkat dan tiba masanya pembagian rapor bagi siswa di sekolah tersebut. Seluruh orangtua datang, termasuk orangtua Bayu, namun ada yang tampak berbeda. Ibunda Bayu hanya datang diantar oleh tetangganya, “Bu, Ayah mana…?, kok gak datang?” tanya Bayu penasaran. “Ayah kurang enak badan nak… jadi tidak bisa ikut” jawab Ibunda Bayu dengan nada rendah. Terdengar panggilan dari pengeras suara, “Juara umum semester ini diraih oleh… Bayu Adiatma…”. Mendengar itu Ibunda Bayu menangis haru dan tersenyum bangga atas prestasi anaknya. Namun Bayu tetap kecewa karena Ayahnya tidak bisa datang melihat ia mendapat juara.
Ayahanda Bayu sering sakit-sakitan, sudah banyak biaya keluar untuk pengobatannya. Kini keluarga Bayu jatuh miskin, sehingga Bayu jarang dikirimi uang oleh orangtuanya. Bayu tidak mengetahui hal tersebut karena ia jarang pulang ke kampung halaman. Ia hanya tahu tidak ada kiriman untuknya dan ia harus berusaha untuk mendapat uang untuk biaya hidupnya selama sekolah dan ngekos. Untuk mengatasi hal tersebut, Bayu mencoba berjualan koran pada pagi hari sebelum berangkat sekolah. Sepulang dari sekolah ia pergi ke restaurant untuk mencuci piring dan mengantar pesanan makanan. Upah yang didapatkannya cukup untuk Ia makan dan membayar uang sekolah. Bu Zahara yang mengetahui keadaan tersebut merasa kasihan, jika Bayu terus-terusan bekerja maka ia akan lupa untuk belajar. Untuk itu, Bayu diajak oleh Bu Zahara agar tinggal dirumahnya. Disana Bayu tidak diberatkan dengan biaya apapun, akan tetapi Bayu yang merasa hutang budi, membantu pekerjaan rumah tangga Bu Zahara meski sudah ada pembantu di rumah tersebut. Bayu lebih fokus dan giat belajar dengan bimbingan dari Bu Zahara. Tidak ada beban fikiran akan kekurangan biaya, sehingga bayu lebih semangat dalam meraih prestasi. Bakatnya dalam mengerjakan soal matematika tampak setelah Bayu menyelesaikan soal-soal Ujian Masuk Perguruan Tinggi milik Bu Zahara. Sehingga ketika ada perlombaan Olimpiade Matematika Tingkat Provinsi yang diadakan oleh Perguruan Tinggi Negeri terkemuka yang ada di daerahnya, Bayu direkomendasikan menjadi salah satu utusan sekolah untuk mengikuti Olimpiade tersebut. Bersama teman-teman yang juga dipercaya karena kemampuannya, mereka diberikan tambahan pelajaran untuk menghadapi Olimpiade tersebut.
Dua hari sebelum Olimpiade, Bu Zahara mendapat telepon dari Ibunda Bayu bahwa Ayahnya Bayu sekarang sedang sakit keras, Bu Zahara tidak memberitahukan langsung pada Bayu karena itu dapat mengganggu konsentrasinya dalam menghadapi Olimpiade nanti. Tiba pada hari yang ditunggu, Olimpiade dilaksanakan dalam waktu dua hari, setelah melewati babak penyisihan, Bayu dan dua orang temannya masuk ke babak final. Sebelum menghadapi babak final, Bayu meminta agar Bu Zahara memberi kabar pada orangtuanya untuk mendoakan Bayu dalam menghadapi babak final nanti. Dengan percaya diri dan harapan tinggi, Bayu bersama teman yang lain berangkat ditemani kepala sekolah. Mereka sangat berharap dapat membawa pulang kemenangan dan mengharumkan nama sekolah yang belum pernah ikut Olimpiade Matematika tersebut.
Keringat deras bercucuran saat para peserta mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh Panitia Olimpiade, namun tidak menggentarkan hati Bayu dan teman-temannya untuk dapat sukses melewati babak tersebut. Akhirnya Babak Final pun berakhir, tinggal menunggu hasilnya saja yang keluar siang hari itu juga. Namun, tiba-tiba Bu Zahara menelpon Kepala Sekolah, “Pak, Orangtua laki-laki Bayu masuk rumah sakit…”. Mendengar kabar itu, Bayu segera diantar ke rumah sakit tempat Ayahnya dirawat dan dua temannya diminta tetap tinggal untuk menunggu hasil Olimpiade yang sebentar lagi akan dimulai.
Setiba dirumah sakit, Ayahnya Bayu masih dirawat oleh Dokter. “Bu, gimana keadaan Ayah? Udah berapa lama Ayah sakit?” tanya Bayu dengan isaknya. “Ayahmu sekarang sedang dirawat para ahli nak, Ayah mengidap penyakit kanker otak dan sudah sampai stadium empat,,” jawab Ibunda Bayu sambil meneteskan air mata kesedihan. Bayu terdiam mendengar ucapan Ibundanya tersebut.
Dering telepon genggam kepala sekolah berbunyi, ternyata dua orang siswanya sedang menelpon “Pak, kita dapat juara umum… Ini semua berkat Bayu, kami berharap dia kemari untuk menjemput tropi…”. Kepala sekolah meminta agar Bayu ikut dan mempersembahkan kemenangan tersebut pada Ayahnya, agar ia bangga dengan anaknya tersebut. Sebelum pergi, Bayu berpamitan pada Ayahnya “Yah, ayah,,, Ayah dengar Bayu kan? Bayu juara yah, Ayah senang kan? Tunggu disini ya yah, Bayu pergi dulu untuk mengambil tropi”. Ayah Bayu tiba-tiba sadar dari komanya dengan tertatah-tatah Ayahnya berbicara, “nak…“ “mendekatlah…” “Ayah sangat bangga sama kamu, ingatlah pesan Ayah,” “harta dan benda bisa habis dalam sekejap, tapi ilmu dan akhlak bisa dibawa sampai mati…”. Sejenak Bayu memikirkan Amanah Ayahnya tersebut kemudian pergi bersama kepala sekolah.
Bayu bersama teman-teman bersyukur kepada Tuhan atas prestasi yang mereka raih, sambil membopong piala yang besar itu. Sepulangnya Bayu ke rumah sakit dari mengambil tropi, Ibunya sudah menangis. “Ada apa Bu, kenapa Ibu menangis…?” tanya Bayu cemas. Kemudian perawat lewat degan membawa jasad berselimut kain putih dari ruangan tempat Ayahnya dirawat. Tanpa sengaja tropi yang dibawa Bayu terjatuh kelantai karena genggaman tangannya yang lemas melihat kejadian tersebut. Bayu tidak menyangka akan kehilangan Ayah yang sangat ia sayangi, ia tidak sempat mengucapkan kepada Ayahnya bahwa ia sangat sayang dan ingin memberikan yang terbaik agar Ayahnya bangga. Takdir sudah berkata, Ibunda Bayu memeluk anaknya dan meminta agar jangan menangis karena Ayahnya tidak senag jika anak laki-lakinya menangis. Dari semua itu Bayu belajar untuk tegar menghadapi hidup, ia belajar bahwa hidup hanya sementara dan bukanlah selama-lamanya. Ia berjanji mengamalkan apa yang diamanahkan oleh Ayahnya pada saat-saat terakhir sebelum kepergiannya. Ilmu yang banyak tidak akan bermanfaat jika tidak dibarengi dengan Akhlak yang mulia.